Peran pendidikan sebagai modal utama membangun
karakter bangsa
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah
Pedagogik Transformasi
Dosen Mata Kuliah :
Dr. Istariningtyas, M.Pd
Disusun Oleh :
INDAH PURNAMASARI
0901045202
Prodi / Kelas : PGSD / VI E
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
Jl. Tanah Merdeka, Ps. Rebo. Jakarta Timur
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif
yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman
hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa
yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk
mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang
kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana
masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan,
kelembagaan Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung,
dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi
paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan
fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak,
dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya,
masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan,
disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan
melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).
Dari
sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah
penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan
kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Pendidikan merupakan
upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu
agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab,
kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani
maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia,
yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun.
Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan,
melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan
dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara
berkelanjutan dan merata. Ini sejalan
dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Melihat
kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan
kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global
dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang
dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih
belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk
kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang
menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan
bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik
yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah
mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam
sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat
memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak
tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini
fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa
kita kelak menjadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita
melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian,
perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya
oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati
hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter
SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan
mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan
implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun
masyarakat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah pada
makalah ini adalah:
1.
Apa itu hakikat pendidikan?
2.
Apa
saja ciri-ciri karakter SDM?
3.
Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
4.
Bagaimana Implementasi pendidikan
karakter?
5.
Bagaimana
peran pendidik dalam membentuk
karakter SDM?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah :
1.
Untuk mengetahu tentang hakikat pendidikan.
2.
Untuk
mengetahui ciri-ciri karakter SDM.
3.
Untuk mengetahui tentang pendidikan karakter.
4.
Untuk mengetahui cara mengimplementasikan
pendidikan karakter.
5.
Untuk
mengetahui peran pendidik dalam
membentuk karakter SDM.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
HAKIKAT PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan
hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal
dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan
informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian,
terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita
dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan
bahwa Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara
pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan
nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan
yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam
bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa
pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama
ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung
untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga
pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang
adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak
bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia
melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS
atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari
penyimpangan moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000:
194).
Oleh karena itu, ke depan dalam
rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan
ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya
adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala
anak pada fase negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang
kemauan untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada
pertentangan sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul
minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan
berkhayal (Mappiare dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari
gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan
pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap
terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.
2.2 CIRI KARAKTER SDM
SDM merupakan aset paling penting untuk membangun
bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki
harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental
yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran,
keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan
sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep
tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dengan
kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious,
yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur,
terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu
memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang
tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan rohani serta mampu
hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup
dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan
(4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin
tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki
cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan
universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009:
43-44).
2.3 PENDIDIKAN KARAKTER
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan
bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital
dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia
yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin,
2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana
generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek
afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan
untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak
menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya
Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya
generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral,
(2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi
peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter
menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran
moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya
nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian,
kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan
khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk
dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai.
Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai
setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan
karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (7)
Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada
masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa
pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi
persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya
perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki
tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui
lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona
dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas
pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang
untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan
karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang
hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat,
dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses
pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus
mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan
penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral
dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat
membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.
2.4
IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN KARAKTER
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter
adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan
karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri
pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1. Segala sesuatu di sekolah diatur
berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
2. Sekolah merupakan masyarakat
peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan
siswa, guru, dan sekolah
3. Pembelajaran emosional dan sosial
setara dengan pembelajaran akademik
4. Kerjasama dan kolaborasi di
antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5. Nilai-nilai seperti keadilan,
rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di
dalam maupun di luar kelas
6. Siswa-siswa diberikan banyak
kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan
seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7. Disiplin dan pengelolaan kelas
menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8. Model pembelajaran yang berpusat
pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan
siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara
itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan
karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama
mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin
tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan
pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin
kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa
prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya,
dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan
masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu
pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan
lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter
tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam
pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya
muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik
moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar
tertanam dalam jiwa anak.
2.5 PERAN PENDIDIK DALAM
MEMBENTUK KARAKTER SDM
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau
siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi
peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat
yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006)
menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1.
Pendidik perlu terlibat
dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya
membangun pendidikan karakter
- Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.
Pendidik perlu
memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan
berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4.
Pendidik perlu
melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk
memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
- Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi
pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu
menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2)
pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu
memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan
berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing
the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu
memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode
pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan
manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk
karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi
karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan
peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter
siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat
dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam
mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada
siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif
dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4)
harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan
keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan
bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi
dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan
lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft
skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus
menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa
yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan
lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan
nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional
kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan
lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4)
perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah,
misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan
sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter
kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri
dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan
potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi
Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan
perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pendidikan
diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pembentukan karakter SDM yang kuat sangat diperlukan untuk
menghadapi tantangan global yang lebih berat. Karakter SDM dapat dibentuk
melalui proses pendidikan formal, non formal, dan informal yang ketiganya harus
bersinergis. Untuk menyinergiskan, peran pendidik dalam pendidikan karakter
menjadi sangat vital sehingga anak didik atau SDM Indonesia menjadi manusia
yang religius, moderat, cerdas, dan mandiri sesuai dengan cita-cita dan tujuan
pendidikan nasional serta watak bangsa Indonesia.
3.2 SARAN
Diharapkan dengan dibentuk dan diterapkannya
pendidikan karakter di SD dapat membentuk pribadi siswa yang unggul dalam
berperilaku dan memiliki kepribadian yang sesuai dengan moral-moral pancasila
dan agama. Untuk itu penerapan pendidikan karakter di SD sangat diperlukan,
sehingga kita dapat menjadi orang yang bermoral dan berpancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,
Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan
Karakter Bangsa. 2006
Sairin,
Weinata. Pendidikan yang Mendidik.
Jakarta: Yudhistira, 2001
Suyatno;
Sumedi, Pudjo, dan Riadi, Sugeng (Editor). Pengembangan
Profesionalisme Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar. Jakarta: UHAMKA Press,
2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar